Rabu, 16 Maret 2011

Catatan Tentang Perpisahan

Cerita ini hanya copypaste dari ceritanya Dewi Lestari :)


Perpisahan, sebagaimana kematian, adalah hal yang paling dihindari manusia. Padahal sama seperti pertemuan dan kelahiran, kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah. Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima mati.

Saya sempat termenung melihat salah satu adegan dalam film “Earth” di mana seekor kijang berlari sekuat tenaganya hingga pada satu titik dia begitu berpasrah saat digigit oleh harimau, menghadapi kematiannya dengan alami. Adegan yang tadinya begitu mencekam akhirnya bisa berubah indah saat kita mampu mengapresiasi kepasrahan sang kijang terhadap kekuatan yang lebih besar darinya. Persis bagaikan kijang yang berlari, manusia dengan segala macam cara juga menghindari kematian. Orang yang sudah tidak berfungsi pun masih ditopang oleh segala macam mesin agar bisa hidup. Perpisahan tak terkecuali. Kita pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan terlebih dahulu. Namun, sebagaimana kijang yang akhirnya berlutut pasrah, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, jika ucapan selamat tinggal siap terlontar. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti.

Dalam semua hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun saya percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa, hubungan pun sama. Jika tidak, semua orang tidak akan pernah mati dan semua orang tidak pernah ganti pacar dari pacar pertamanya. Kita bisa bilang, putusnya hubungan A karena dia selingkuh, karena bosan, karena ketemu orang lain yang lebih menarik, belum jodoh, dan masih banyak lagi. Padahal intinya satu, jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.

Jadi, semua faktor yang selama ini diabsahkan orang-orang sebagai penyebab perpisahan (orang ketiga, KDRT, tidak dinafkahi, dan lain-lain) menurut saya sebenarnya adalah gejala yang terlihat, bukan penyebab. Sama halnya batuk sebagai gejala penyakit flu. Batuk bukan penyebab, tapi gejala penyakit yang terlihat. Kita sendiri tidak bisa melihat virusnya, cuma merasakan akibatnya, yakni batuk atau beringus. Tapi seringkali kita tertukar memilah mana efek dan mana sebab, hanya karena efek yang terlihat lebih mudah dijelaskan. Alasan sesederhana “memang sudah waktunya” dirasa abstrak, teoritis, filosofis, dan mengada-ada.

September 2006 adalah momen penyadaran saya dengan Marcell, saat kami merasa bahwa hubungan kami sudah kadaluarsa. Susah sekali kalau disuruh menjelaskan: kok bisa tahu? Tapi kami sama-sama merasakan hal yang sama. Dan pada saat itulah kami memutuskan untuk belajar berpisah, saling melepaskan. Jadi, masalah intinya bukan memaafkan dan memaklumi efek apa yang terlihat, tapi menerima bahwa inilah adanya. Hubungan yang kadaluarsa. Perkembangan yang akhirnya membawa kami ke titik perpisahan. Dan, untuk sampai pada penerimaan ini, dua tahun saya jalani dengan berbagai macam cara: meditasi, penyembuhan diri, dan sebagainya, hingga kami bisa saling melepaskan dengan lapang dada, dengan baik-baik, dengan pengertian, dengan kesadaran.

Memaafkan bagi saya adalah menerima. Menerima kondisi kami apa adanya. Segala penyebab mengapa sebuah kondisi tercipta, barangkali kita cuma bisa tahu sekian persennya aja. Tidak mungkin diketahui semua. Apalagi dimengerti. Sama halnya saya tidak tahu persis kenapa dulu bisa bertemu dengan Marcell, menikah, dan seterusnya. Fate, atau destiny, menjadi cara manusia menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan. Perpisahan pun sama hukumnya. Meski sepertinya keputusan berpisah ada “di tangan kita”, tapi ada sesuatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Namun seringkali konsep “memaafkan” yang kita kehendaki adalah kemampuan untuk mengembalikan situasi ke saat sebelum ada masalah. Alias rujuk lagi seperti dulu. Dan keinginan kami untuk berpisah dianggap sebagai ketidakmampuan kami untuk saling memaafkan. Menurut saya, pemaafan yang sejati hanya bisa diukur oleh masing-masing pribadi, di dalam hatinya sendiri. Dan bagi kami, dalam masalah ini, “memaafkan” tidaklah identik dengan “pengembalian situasi ke kondisi semula”. Dalam proses pemaafan ini, kami pun bertumbuh. Dan di sinilah saya menyadari, juga Marcell, dinamika kami sebagai suami-istri lebih baik disudahi sampai di sini. Kami menemukan wadah yang lebih kondusif untuk menopang dinamika kami sebagai dua manusia, yakni sahabat tanpa wadah pernikahan.

Lantas, orang-orang pun berargumen: semua suami-istri juga pada ujungnya jadi sahabat! Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Bahkan ada suami-istri yang menjadi musuh bagi satu sama lain meski mereka tetap menikah. Ketika sepasang suami-istri menjadi sahabat, mereka tentu bisa merasakan wadah apa yang paling tepat untuk menopang dinamika mereka. Jika pernikahan masih dirasakan sebagai wadah yang pas, maka mereka akan meneruskan persahabatan dalam cangkang pernikahan. Evolusi saya dan Marcell ada di kompartemen yang lain lagi. Cangkang pernikahan tidak lagi kami rasakan sebagai wadah yang “pas”. Jika dijalankan pun, cuma jadi kompensasi sosial yang alasannya bukan lagi kebahagiaan kami, melainkan kebahagiaan masyarakat, keluarga, sahabat, dan seterusnya. Satu opsi yang menurut saya sangat tidak sehat, membunuh pelan-pelan, dan kepalsuan berkepanjangan.

Lantas, bagaimana dengan Keenan? Apakah kebahagiaannya juga tidak kami perhitungkan? Analogi yang barangkali bisa membantu menggambarkan ini adalah petunjuk emergensi di pesawat. Dulu, saya sering bingung, kenapa orang tua disuruh memakai masker oksigen duluan sebelum anaknya. Sekarang saya mengerti, dan setidaknya ini adalah kebenaran bagi saya: kita tidak bisa membahagiakan orang lain sebelum kita sendiri bahagia. Satu buku yang sangat terkenal, “Celestine’s Prophecy”, juga bicara soal ini. Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain. Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi.

Saya menikah bukan karena Keenan, dan kalaupun saya bertahan menikah, seharusnya juga bukan karena Keenan. Karena kalau cuma karena Keenan, dengan demikian saya menaruh beban yang luar biasa besar dan bukan porsinya Keenan, bahkan saya menjadi seseorang yang tidak bertanggungjawab, dengan meletakkan fondasi pernikahan saya pada seorang anak. Ini barangkali bukan pandangan yang umum. Kita tahu betapa banyak orang di luar sana yang bicara bahwa anak harusnya menjadi pengikat, bahkan dasar. Bagi saya, Keenan bukan tali atau fondasi. Dia adalah anak panah yang akan melesat sendiri satu saat nanti. Kewajiban utama saya adalah menjadi manusia yang utuh agar saya bisa membagi keutuhan saya dengan dia. Dan keutuhan jiwa saya tidak saya letakkan dalam pernikahan, tidak juga pada siapa-siapa, melainkan pada diri saya sendiri. Saya hanya bisa bahagia untuk diri saya sendiri. Kalau ada yang lain merasa kecipratan, ya, syukur. Kalau tidak pun bukan urusan saya.

Di dunia di mana seorang martir selalu memperoleh citra istimewa, apa yang saya ungkap barangkali terdengar egois. Sama seperti narasi yang kerap digaungkan infotainment, yang berbicara soal kebahagiaan anak bernama Keenan dan “hatinya yang terkoyak karena keegoisan ayah-bundanya”, seorang anak yang tidak mereka kenal sama sekali tapi mereka berbicara seolah bisa menembus ke dalam hatinya. Padahal, kalau direnungi dalam-dalam, sesungguhnya kita tidak pernah berbuat sesuatu untuk orang lain, meski kita berpikir demikian. Kita berbuat sesuatu karena itulah yang kita anggap benar bagi diri kita sendiri. Dan kebenaran ini sangatlah relatif. Jika ada 6,5 miliar manusia di dunia, maka ada 6,5 miliar kebenaran dan ukuran kebahagiaan. Norma berubah, agama berubah, sains berubah, segalanya berubah dan tidak pernah sama. Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah, dan tidak statis.

Membahagiakan Keenan, keluarga, para penggemar, masyarakat, juga menjadi keinginan saya. Tapi saya pun tidak bisa selamanya mencegah mereka semua dari ketidakbahagiaan. Karena apa? Seseorang berbahagia karena dirinya sendiri. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tapi internal. Ilustrasinya begini, dua orang sama-sama dikasih apel, yang satu bahagia karena memang suka apel, yang lain kecewa karena sukanya durian. Berarti bukan apelnya yang bisa bikin bahagia, tapi reaksi hati seseoranglah yang menentukan. Yang tidak suka apel baru bisa bahagia kalau akhirnya dia bisa menerima bahwa yang diberikan kepadanya adalah apel dan bukan durian—sebagaimana yang dia inginkan. Alias menerima kenyataan. Saya tidak bisa membuat siapa pun berbahagia, sekalipun saya ingin berpikir demikian. Kenyatannya, hanya dirinya sendirilah yang bisa. Saya hanya bisa menolong dan memberikan apa yang orang tersebut butuhkan, SEJAUH yang saya bisa. Namun saya tidak memegang kendali apa pun atas kebahagiaannya.

Seseorang lantas mampir ke blog ini dan bertanya: Tuhan seperti apa yang saya anut? Karena kasih Tuhan seharusnya mengingatkan saya untuk terus bersatu, sebab tidak ada Tuhan yang menyukai perpisahan. Bagi saya, Tuhan berada di luar ranah suka dan tak suka. Jika dunia ini berjalan hanya berdasarkan kesukaan Tuhan, dan Tuhan hanya suka yang baik-baik saja, mengapa kita dibiarkan hidup dengan peperangan, dengan air mata, dengan patah hati, dengan ketidakadilan, dengan kejahatan? Mengapa harus ada hitam bersanding dengan putih? Lantas, kalau ada orang yang kemudian berargumen bahwa bagian hitam bukan jatahnya Tuhan tapi Setan, maka jelas Tuhan yang demikian bukan Yang Maha Kuasa. Ia menjadi terbatas, kerdil, dan sempit. Bagi saya, Tuhan ada di atas hitam dan putih, sekaligus terjalin di dalam keduanya. Tidak ada yang bukan Tuhan. Ia tak mengenal konsep “kecuali”.

Selama beberapa hari terakhir, begitu banyak pesan dan komentar yang dilayangkan pada kami. Dari mulai bertanya, kecewa, prihatin, sedih, kaget, bahkan bak seorang Nabi bernubuat, ada yang meramalkan ini-itu sebagai konsekuensi keputusan kami. Tak sedikit juga yang memilih tidak berkomentar dan bertanya, hanya memberi dukungan. Kami berterima kasih untuk semua. Kami pun tak meminta banyak, hanya satu hal: hargai keputusan kami. Yang kami selamatkan di sini bukan “keutuhan keluarga” melainkan keutuhan hati dan jiwa masing-masing. Karena buat kami, itu lebih penting daripada keluarga utuh tapi dalamnya rapuh. Maaf jika itu membuat beberapa dari Anda kecewa. Saya juga mengerti begitu banyak yang berupaya mendorong kami untuk terus berusaha, mempertanyakan usaha kami, dan bereaksi seolah-olah kami memutuskan keputusan ini dalam semalam. Sungguh, ini bukan keputusan “kemarin sore”. Kita semua tahu keputusan bercerai adalah keputusan yang besar. Intinya, terima kasih atas perhatiannya, dan mari kita kembali urus diri masing-masing.

Saya bukan penonton infotainment dan juga bukan pembaca tabloid, tapi dari beberapa info yang kebetulan sampai ke pengamatan saya, bisa disimpulkan bahwa manusia begitu haus drama. Mungkin karena itulah kita begitu rajin membuat sinetron dengan akting-akting berlebihan dan cerita-cerita ekstrem, karena hanya dengan cara demikianlah kita bisa menerima realitas. Kita begitu terbiasa dengan drama dan tragedi. Kondisi di mana saya dan Marcell bisa duduk berdampingan, berpisah dengan baik-baik, seolah-olah terlewatkan sebagai buah upaya kami yang nyata karena semua orang sibuk mengedepankan pertunjukan teater versinya masing-masing. Apa pun yang saya katakan, pada akhirnya selalu dibingkai narasi, entah lisan atau tulisan, yang merupakan ramuan opini si penulis naskah. Itulah yang akhirnya membuat saya dan Marcell lebih banyak tertawa sendiri, pers hiburan rasanya seperti servis sosial di mana kami mengumpankan dongeng untuk kepentingan hajat hidup mereka, bukan lagi berbagi kebenaran. Dengan info-info sepotong yang mungkin lebih banyak asumsinya ketimbang faktanya, mereka bisa merangkai pertunjukan teater apa pun yang mereka mau. Dan itulah yang menghibur. Sisanya? Kenyataan yang membosankan. Nyata, tapi tidak seru. Dan bukan itu yang orang mau.

Hari ini, saya ditunjukkan tabloid C&R yang terbaru. Kami berdua menjadi sampul depan, dengan laporan empat halaman. Saya sempat tercengang karena mereka mengutip hal yang tidak pernah saya lontarkan, menuliskan pertanyaan yang tidak pernah mereka tanyakan, tapi ditulis sedemikian rupa seolah terjadi dialog langsung antara saya dan penulis/wartawan (Fitriawan Ginting - RED). Bahkan, mereka menuliskan alamat rumah saya dengan lengkap, tanpa izin terlebih dahulu. Plus, ditambah unsur-unsur dramatis bahwa kepindahan saya adalah untuk “mengubur masa lalu”. Padahal saya berencana pindah sejak tahun lalu karena semata-mata alasan pekerjaan. Tidak hanya mereka menulis sesuai dengan bingkai yang mereka mau, bahkan untuk mengepas “gambar realitas” ke bingkai tersebut, mereka melakukan hal yang tidak etis. Saya tidak tahu fungsi dari alamat lengkap saya untuk bumbu berita mereka, tapi mereka menuliskannya seolah tidak berpikir bahwa hal tersebut menyangkut isu sekuritas, dan juga privasi. Media seharusnya tidak memberikan alamat seseorang begitu saja. Sejauh saya berkarier, pihak media selalu meminta izin jika ingin memberikan alamat. Entah zaman yang sudah berubah, atau privasi sudah jadi kata-kata kosong dalam realm pers hiburan.

Beberapa debat dan diskusi di internet pun merebak, bahkan terkadang menjadi pengadilan tak resmi. Ada banyak nama yang disebut, dispekulasikan, dan sampai didiskreditkan. Orang-orang yang juga punya kehidupan, keluarga, karier, dan privasi. Sekalipun dengan tegas saya dan Marcell mengatakan bahwa alasan kami berpisah bukan karena pihak ketiga atau ketujuhbelas, tapi seperti angin lalu, mereka tak jemu mengorek sana-sini, termasuk ke sahabat-sahabat terdekat saya. So, seriously, they don’t have any concern for the truth. They have concern on “stories”. Lucu. Yang menjalani saja santai-santai, yang kebakaran jenggot malah orang-orang lain. Jika dilihat secara keseluruhan, sesungguhnya inilah dagelan kita bersama. Barangkali demikian juga halnya nasib semua berita hiburan (bahkan non-hiburan) yang beredar selama ini.

Lalu, hendak ke mana setelah ini? Saya tidak tahu. Apakah akan ada penyesalan? Saya tidak tahu. Apa pun yang menanti saya sesudah ini, itulah konsekuensi, tanggung jawab, dan karma saya. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah saya, dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi saya, itu sudah cukup. Bagi saya, itulah bentuk kesadaran.

Jadi, kalau pertanyaan emas itu kembali dilontarkan: apa penyebab Dewi dan Marcell bercerai? Mereka sadar, menerima, dan memaafkan… bahwa hidup telah membawa mereka ke titik perpisahan.

Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti mengapa label-label itu muncul. Kebenaran kadang memang sukar dipahami. Hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya kita berusaha mendefinisikan Cinta. Pada akhirnya, kita cuma bisa merasakan akibatnya.


Salam,

~ D ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar