Rabu, 16 Maret 2011

Catatan Tentang Perpisahan

Cerita ini hanya copypaste dari ceritanya Dewi Lestari :)


Perpisahan, sebagaimana kematian, adalah hal yang paling dihindari manusia. Padahal sama seperti pertemuan dan kelahiran, kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah. Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima mati.

Saya sempat termenung melihat salah satu adegan dalam film “Earth” di mana seekor kijang berlari sekuat tenaganya hingga pada satu titik dia begitu berpasrah saat digigit oleh harimau, menghadapi kematiannya dengan alami. Adegan yang tadinya begitu mencekam akhirnya bisa berubah indah saat kita mampu mengapresiasi kepasrahan sang kijang terhadap kekuatan yang lebih besar darinya. Persis bagaikan kijang yang berlari, manusia dengan segala macam cara juga menghindari kematian. Orang yang sudah tidak berfungsi pun masih ditopang oleh segala macam mesin agar bisa hidup. Perpisahan tak terkecuali. Kita pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan terlebih dahulu. Namun, sebagaimana kijang yang akhirnya berlutut pasrah, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, jika ucapan selamat tinggal siap terlontar. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti.

Dalam semua hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun saya percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa, hubungan pun sama. Jika tidak, semua orang tidak akan pernah mati dan semua orang tidak pernah ganti pacar dari pacar pertamanya. Kita bisa bilang, putusnya hubungan A karena dia selingkuh, karena bosan, karena ketemu orang lain yang lebih menarik, belum jodoh, dan masih banyak lagi. Padahal intinya satu, jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.

Jadi, semua faktor yang selama ini diabsahkan orang-orang sebagai penyebab perpisahan (orang ketiga, KDRT, tidak dinafkahi, dan lain-lain) menurut saya sebenarnya adalah gejala yang terlihat, bukan penyebab. Sama halnya batuk sebagai gejala penyakit flu. Batuk bukan penyebab, tapi gejala penyakit yang terlihat. Kita sendiri tidak bisa melihat virusnya, cuma merasakan akibatnya, yakni batuk atau beringus. Tapi seringkali kita tertukar memilah mana efek dan mana sebab, hanya karena efek yang terlihat lebih mudah dijelaskan. Alasan sesederhana “memang sudah waktunya” dirasa abstrak, teoritis, filosofis, dan mengada-ada.

September 2006 adalah momen penyadaran saya dengan Marcell, saat kami merasa bahwa hubungan kami sudah kadaluarsa. Susah sekali kalau disuruh menjelaskan: kok bisa tahu? Tapi kami sama-sama merasakan hal yang sama. Dan pada saat itulah kami memutuskan untuk belajar berpisah, saling melepaskan. Jadi, masalah intinya bukan memaafkan dan memaklumi efek apa yang terlihat, tapi menerima bahwa inilah adanya. Hubungan yang kadaluarsa. Perkembangan yang akhirnya membawa kami ke titik perpisahan. Dan, untuk sampai pada penerimaan ini, dua tahun saya jalani dengan berbagai macam cara: meditasi, penyembuhan diri, dan sebagainya, hingga kami bisa saling melepaskan dengan lapang dada, dengan baik-baik, dengan pengertian, dengan kesadaran.

Memaafkan bagi saya adalah menerima. Menerima kondisi kami apa adanya. Segala penyebab mengapa sebuah kondisi tercipta, barangkali kita cuma bisa tahu sekian persennya aja. Tidak mungkin diketahui semua. Apalagi dimengerti. Sama halnya saya tidak tahu persis kenapa dulu bisa bertemu dengan Marcell, menikah, dan seterusnya. Fate, atau destiny, menjadi cara manusia menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan. Perpisahan pun sama hukumnya. Meski sepertinya keputusan berpisah ada “di tangan kita”, tapi ada sesuatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Namun seringkali konsep “memaafkan” yang kita kehendaki adalah kemampuan untuk mengembalikan situasi ke saat sebelum ada masalah. Alias rujuk lagi seperti dulu. Dan keinginan kami untuk berpisah dianggap sebagai ketidakmampuan kami untuk saling memaafkan. Menurut saya, pemaafan yang sejati hanya bisa diukur oleh masing-masing pribadi, di dalam hatinya sendiri. Dan bagi kami, dalam masalah ini, “memaafkan” tidaklah identik dengan “pengembalian situasi ke kondisi semula”. Dalam proses pemaafan ini, kami pun bertumbuh. Dan di sinilah saya menyadari, juga Marcell, dinamika kami sebagai suami-istri lebih baik disudahi sampai di sini. Kami menemukan wadah yang lebih kondusif untuk menopang dinamika kami sebagai dua manusia, yakni sahabat tanpa wadah pernikahan.

Lantas, orang-orang pun berargumen: semua suami-istri juga pada ujungnya jadi sahabat! Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Bahkan ada suami-istri yang menjadi musuh bagi satu sama lain meski mereka tetap menikah. Ketika sepasang suami-istri menjadi sahabat, mereka tentu bisa merasakan wadah apa yang paling tepat untuk menopang dinamika mereka. Jika pernikahan masih dirasakan sebagai wadah yang pas, maka mereka akan meneruskan persahabatan dalam cangkang pernikahan. Evolusi saya dan Marcell ada di kompartemen yang lain lagi. Cangkang pernikahan tidak lagi kami rasakan sebagai wadah yang “pas”. Jika dijalankan pun, cuma jadi kompensasi sosial yang alasannya bukan lagi kebahagiaan kami, melainkan kebahagiaan masyarakat, keluarga, sahabat, dan seterusnya. Satu opsi yang menurut saya sangat tidak sehat, membunuh pelan-pelan, dan kepalsuan berkepanjangan.

Lantas, bagaimana dengan Keenan? Apakah kebahagiaannya juga tidak kami perhitungkan? Analogi yang barangkali bisa membantu menggambarkan ini adalah petunjuk emergensi di pesawat. Dulu, saya sering bingung, kenapa orang tua disuruh memakai masker oksigen duluan sebelum anaknya. Sekarang saya mengerti, dan setidaknya ini adalah kebenaran bagi saya: kita tidak bisa membahagiakan orang lain sebelum kita sendiri bahagia. Satu buku yang sangat terkenal, “Celestine’s Prophecy”, juga bicara soal ini. Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain. Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi.

Saya menikah bukan karena Keenan, dan kalaupun saya bertahan menikah, seharusnya juga bukan karena Keenan. Karena kalau cuma karena Keenan, dengan demikian saya menaruh beban yang luar biasa besar dan bukan porsinya Keenan, bahkan saya menjadi seseorang yang tidak bertanggungjawab, dengan meletakkan fondasi pernikahan saya pada seorang anak. Ini barangkali bukan pandangan yang umum. Kita tahu betapa banyak orang di luar sana yang bicara bahwa anak harusnya menjadi pengikat, bahkan dasar. Bagi saya, Keenan bukan tali atau fondasi. Dia adalah anak panah yang akan melesat sendiri satu saat nanti. Kewajiban utama saya adalah menjadi manusia yang utuh agar saya bisa membagi keutuhan saya dengan dia. Dan keutuhan jiwa saya tidak saya letakkan dalam pernikahan, tidak juga pada siapa-siapa, melainkan pada diri saya sendiri. Saya hanya bisa bahagia untuk diri saya sendiri. Kalau ada yang lain merasa kecipratan, ya, syukur. Kalau tidak pun bukan urusan saya.

Di dunia di mana seorang martir selalu memperoleh citra istimewa, apa yang saya ungkap barangkali terdengar egois. Sama seperti narasi yang kerap digaungkan infotainment, yang berbicara soal kebahagiaan anak bernama Keenan dan “hatinya yang terkoyak karena keegoisan ayah-bundanya”, seorang anak yang tidak mereka kenal sama sekali tapi mereka berbicara seolah bisa menembus ke dalam hatinya. Padahal, kalau direnungi dalam-dalam, sesungguhnya kita tidak pernah berbuat sesuatu untuk orang lain, meski kita berpikir demikian. Kita berbuat sesuatu karena itulah yang kita anggap benar bagi diri kita sendiri. Dan kebenaran ini sangatlah relatif. Jika ada 6,5 miliar manusia di dunia, maka ada 6,5 miliar kebenaran dan ukuran kebahagiaan. Norma berubah, agama berubah, sains berubah, segalanya berubah dan tidak pernah sama. Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah, dan tidak statis.

Membahagiakan Keenan, keluarga, para penggemar, masyarakat, juga menjadi keinginan saya. Tapi saya pun tidak bisa selamanya mencegah mereka semua dari ketidakbahagiaan. Karena apa? Seseorang berbahagia karena dirinya sendiri. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tapi internal. Ilustrasinya begini, dua orang sama-sama dikasih apel, yang satu bahagia karena memang suka apel, yang lain kecewa karena sukanya durian. Berarti bukan apelnya yang bisa bikin bahagia, tapi reaksi hati seseoranglah yang menentukan. Yang tidak suka apel baru bisa bahagia kalau akhirnya dia bisa menerima bahwa yang diberikan kepadanya adalah apel dan bukan durian—sebagaimana yang dia inginkan. Alias menerima kenyataan. Saya tidak bisa membuat siapa pun berbahagia, sekalipun saya ingin berpikir demikian. Kenyatannya, hanya dirinya sendirilah yang bisa. Saya hanya bisa menolong dan memberikan apa yang orang tersebut butuhkan, SEJAUH yang saya bisa. Namun saya tidak memegang kendali apa pun atas kebahagiaannya.

Seseorang lantas mampir ke blog ini dan bertanya: Tuhan seperti apa yang saya anut? Karena kasih Tuhan seharusnya mengingatkan saya untuk terus bersatu, sebab tidak ada Tuhan yang menyukai perpisahan. Bagi saya, Tuhan berada di luar ranah suka dan tak suka. Jika dunia ini berjalan hanya berdasarkan kesukaan Tuhan, dan Tuhan hanya suka yang baik-baik saja, mengapa kita dibiarkan hidup dengan peperangan, dengan air mata, dengan patah hati, dengan ketidakadilan, dengan kejahatan? Mengapa harus ada hitam bersanding dengan putih? Lantas, kalau ada orang yang kemudian berargumen bahwa bagian hitam bukan jatahnya Tuhan tapi Setan, maka jelas Tuhan yang demikian bukan Yang Maha Kuasa. Ia menjadi terbatas, kerdil, dan sempit. Bagi saya, Tuhan ada di atas hitam dan putih, sekaligus terjalin di dalam keduanya. Tidak ada yang bukan Tuhan. Ia tak mengenal konsep “kecuali”.

Selama beberapa hari terakhir, begitu banyak pesan dan komentar yang dilayangkan pada kami. Dari mulai bertanya, kecewa, prihatin, sedih, kaget, bahkan bak seorang Nabi bernubuat, ada yang meramalkan ini-itu sebagai konsekuensi keputusan kami. Tak sedikit juga yang memilih tidak berkomentar dan bertanya, hanya memberi dukungan. Kami berterima kasih untuk semua. Kami pun tak meminta banyak, hanya satu hal: hargai keputusan kami. Yang kami selamatkan di sini bukan “keutuhan keluarga” melainkan keutuhan hati dan jiwa masing-masing. Karena buat kami, itu lebih penting daripada keluarga utuh tapi dalamnya rapuh. Maaf jika itu membuat beberapa dari Anda kecewa. Saya juga mengerti begitu banyak yang berupaya mendorong kami untuk terus berusaha, mempertanyakan usaha kami, dan bereaksi seolah-olah kami memutuskan keputusan ini dalam semalam. Sungguh, ini bukan keputusan “kemarin sore”. Kita semua tahu keputusan bercerai adalah keputusan yang besar. Intinya, terima kasih atas perhatiannya, dan mari kita kembali urus diri masing-masing.

Saya bukan penonton infotainment dan juga bukan pembaca tabloid, tapi dari beberapa info yang kebetulan sampai ke pengamatan saya, bisa disimpulkan bahwa manusia begitu haus drama. Mungkin karena itulah kita begitu rajin membuat sinetron dengan akting-akting berlebihan dan cerita-cerita ekstrem, karena hanya dengan cara demikianlah kita bisa menerima realitas. Kita begitu terbiasa dengan drama dan tragedi. Kondisi di mana saya dan Marcell bisa duduk berdampingan, berpisah dengan baik-baik, seolah-olah terlewatkan sebagai buah upaya kami yang nyata karena semua orang sibuk mengedepankan pertunjukan teater versinya masing-masing. Apa pun yang saya katakan, pada akhirnya selalu dibingkai narasi, entah lisan atau tulisan, yang merupakan ramuan opini si penulis naskah. Itulah yang akhirnya membuat saya dan Marcell lebih banyak tertawa sendiri, pers hiburan rasanya seperti servis sosial di mana kami mengumpankan dongeng untuk kepentingan hajat hidup mereka, bukan lagi berbagi kebenaran. Dengan info-info sepotong yang mungkin lebih banyak asumsinya ketimbang faktanya, mereka bisa merangkai pertunjukan teater apa pun yang mereka mau. Dan itulah yang menghibur. Sisanya? Kenyataan yang membosankan. Nyata, tapi tidak seru. Dan bukan itu yang orang mau.

Hari ini, saya ditunjukkan tabloid C&R yang terbaru. Kami berdua menjadi sampul depan, dengan laporan empat halaman. Saya sempat tercengang karena mereka mengutip hal yang tidak pernah saya lontarkan, menuliskan pertanyaan yang tidak pernah mereka tanyakan, tapi ditulis sedemikian rupa seolah terjadi dialog langsung antara saya dan penulis/wartawan (Fitriawan Ginting - RED). Bahkan, mereka menuliskan alamat rumah saya dengan lengkap, tanpa izin terlebih dahulu. Plus, ditambah unsur-unsur dramatis bahwa kepindahan saya adalah untuk “mengubur masa lalu”. Padahal saya berencana pindah sejak tahun lalu karena semata-mata alasan pekerjaan. Tidak hanya mereka menulis sesuai dengan bingkai yang mereka mau, bahkan untuk mengepas “gambar realitas” ke bingkai tersebut, mereka melakukan hal yang tidak etis. Saya tidak tahu fungsi dari alamat lengkap saya untuk bumbu berita mereka, tapi mereka menuliskannya seolah tidak berpikir bahwa hal tersebut menyangkut isu sekuritas, dan juga privasi. Media seharusnya tidak memberikan alamat seseorang begitu saja. Sejauh saya berkarier, pihak media selalu meminta izin jika ingin memberikan alamat. Entah zaman yang sudah berubah, atau privasi sudah jadi kata-kata kosong dalam realm pers hiburan.

Beberapa debat dan diskusi di internet pun merebak, bahkan terkadang menjadi pengadilan tak resmi. Ada banyak nama yang disebut, dispekulasikan, dan sampai didiskreditkan. Orang-orang yang juga punya kehidupan, keluarga, karier, dan privasi. Sekalipun dengan tegas saya dan Marcell mengatakan bahwa alasan kami berpisah bukan karena pihak ketiga atau ketujuhbelas, tapi seperti angin lalu, mereka tak jemu mengorek sana-sini, termasuk ke sahabat-sahabat terdekat saya. So, seriously, they don’t have any concern for the truth. They have concern on “stories”. Lucu. Yang menjalani saja santai-santai, yang kebakaran jenggot malah orang-orang lain. Jika dilihat secara keseluruhan, sesungguhnya inilah dagelan kita bersama. Barangkali demikian juga halnya nasib semua berita hiburan (bahkan non-hiburan) yang beredar selama ini.

Lalu, hendak ke mana setelah ini? Saya tidak tahu. Apakah akan ada penyesalan? Saya tidak tahu. Apa pun yang menanti saya sesudah ini, itulah konsekuensi, tanggung jawab, dan karma saya. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah saya, dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi saya, itu sudah cukup. Bagi saya, itulah bentuk kesadaran.

Jadi, kalau pertanyaan emas itu kembali dilontarkan: apa penyebab Dewi dan Marcell bercerai? Mereka sadar, menerima, dan memaafkan… bahwa hidup telah membawa mereka ke titik perpisahan.

Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti mengapa label-label itu muncul. Kebenaran kadang memang sukar dipahami. Hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya kita berusaha mendefinisikan Cinta. Pada akhirnya, kita cuma bisa merasakan akibatnya.


Salam,

~ D ~

Senin, 03 Januari 2011

Bagaikan Telur Di Ujung Tanduk --"

03 Januari 2010.

papa : "Mbak rencananya emang mau kuliah dimana?"
aku : "blablabla ...... ya rencananya tetep ngambil HI ato ilmu komunikasi pa."
papa : #manggil mama . Jeng jeng, mama dateng#
papa : "Ni katanya anaknya mau kuliah di HI ato di Ilmu komunikasi aja, kenapa gak nagmbil UI aja ? #denger kayak gt happy karena kayaknya papa ngedukung.
mama: "nggak, kejauhan pa. Nanti kalo sakit dy gimana, udah ngambil di malang aja."
aku : "yaudah sama UGM juga :)"
mama: "Gak gak"
aku : "berarti cuma malang aja dong pilihanku"
mama: "iya" #dengan nada polos tidak bersalah.

SEE ? dengan percakapan singkat tanpa perlawanan, sepertinya mamaku telah mengubur harapanku dalam2. Lets check : pengen ke bandung nyari Unpad gak dikasi katanya jauh, nyari Unair jg gak dikasi, pindah ke jkt buat nyari UI gak dikasi tapi STAN dikasi ape pikir coba ? sama2 di jakarta juga kan --" nyari UGM masih diragukan. Berarti cuma UnBra doang dong ? astaga gimana nasib masa depanku ?
ntah kenapa pas nulsi blog ini aku bener bener nangis ngelampiasin segala macem emosi dan kekecewaan ku. Semua yg mereka minta aku udah turut kok, aku udah rela milih jurusan IPA pas kelas 2 nanti. Tapi kenapa aku gak dikasih milih buat jalan hidupklu sendiri ? Toh pilihan ku juga gak aneh aneh amat, yang jalanin nanti tu aku bukan mereka :'(

Mama bilang aku harus bisa berpendapat kalau ditanyain papa soal kuliah nanti, mama katanya dukung aku aja. Tapi kenapa pas kayak gini, mama seolah nyudutin aku ? Aku bener bener serasa gak berdaya dan akhirnya pasrah sama pilihan yang seharusnya gak aku pilih. Aku tahu mama bakal khawatir ketika aku harus kuliah jauh, tapi di malang kan juga jauh? mama sama papa juga sama gak bakal bisa jengukin aku setiap hari.
Sama aja kan berarti ? Entah apa yang membuat mereka bener bener kepengen aku kuliah di malang, entah pikiran mereka tu sebenarnya rasional apa gak --"
entah kenapa aku pengen berjuang sendiri dan nekat untuk tetep berjuang demi universitas yang lain, aku pengen nunjukin ke mereka kalau aku bisa dan semua yan
g ada di pikiran mereka itu salah .......

Selasa, 30 November 2010

#jleeeb ! Nusuk banget

30.11.10

serpihan kata "sebenernya ni cewek ................................................. , dy mnt tlg sama tasha ............................ di bali tash :D"
WHAT ?
perasaan pertama yang muncul itu : semuanya sia-sia , dari ikhlas jadi gak ikhlas , dan bener2 bisa ngebayangin tampang tertawa diatas penderitaan dy . Aku kutuk aja kamu ya , kenapa gak bilang dari awal coba ? :((

terus aku cerita deh ke sepupu ku , dy blg : "eh harus ikhlas dong, sha. Anggap aja sebenernya tu gak kayak gitu, kalo gak ikhlas nanti hasilnya juga jelek lo :)"
thx a lot my cousin :*

gara gara dy aku jadi ilangin pikiran negatif ku , yaa aku coba bersabar . anggap aja ni praktek hidup tolong-menolong #halah bahasaku

udahlah tasha pikiranmu tu gak usah aneh-aneh , jek --" She dont know you, and you dont know her.


-nyakitin banget sih sebenernya ......-
kalo dipikir ulang ternyata sama aja, jadi ilfeel inget kamu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. shity man !

Senin, 08 November 2010

Mission Completed :)

puas deh hari ni ngerjain kakak pembina debat a.k.a Kak Yuana :)

gini ni kronologis ceritanya :
Di kelas ngajak mustia nyari Intan ke bawah, eh sampe bawah taunya Intan lagi makan.
Tasha : "Intan, gak beli kue buat Kak Yuana?"
Intan : "Kapan ? ayok ayok"
Tasha : "Sekarang lah, cepetan nae. Eh dimana dy ? sms sms, cekcek kita ketahuan deh"
Intan : *keasikan makan*
Tasha : "Intan cepetan ne. Udah jam segini, sms sms Kak Yuana"
Intan : " *bingung nyari kunci, helm, blabla bla* "Gak dibales"

Kutinggalin deh si Mustia di x7, entah ngapain sama ayi yang penting happy :p Uda terbirit-birit banget tu di jalan. PAs mau keluar sekolah, sempet aja dicegat sama Kak Yuana, hha :D
Ok , di jalan uda setengah ngebut. Ampe toko kue, cepet-cepetan mana pulang Intan rengas abis bawa motornya .
MACHO \m/

Ampe skolah, ngerem mendadak gara-gara ada Kak Yuana yang lagi ngeliatin kita. Untung aja ada Andhari yang nyelametin kita. Ku kasih tu kue sama Andhari , Intan sm aku naruh motor lalu diintrogasi sm Kak Yuana. Pas itu ku kabur deh nyelesain tu kue , akhirnya dateng Mega sm Jaya yang bantuin.

Aku Mega sibuk gituin kue, ternyata nan jauh diseberang sana *halah bahasanya* Kak Yuana lagi dikerjain abis-abisan. hahahaha :D Kata Andhari, Kak Yuana nyemplung d got. Untung got nya gak segede kolam renang nirmala :-p
Ok, aku suruh kak Yuana muter-muter lima kali trus sambil ditutup matanya kita hias deh mukanya pake krim.
lalu ........... Happy Birthday to you, Happy Birthday to you, Happy birthday happy birthday, Happy birthday to you :)
Kaget, surprise , gak nyangka *itu kali yg dirasain Kak Yuana* .
setelah tiup lilin kita semua abis di colekin sm kak Yuana . semuaaaa kenaa , termasuk awi mustia am krisna yg bukan tersangka . Gaura michael pun ikut :)
putri kemana yaa ? beh gak ikut -___-


for the last, HAPPY BIRTHDAY KAK YUANA !!!

Minggu, 07 November 2010

LOOKLET'S DIARY


















Story of Dissapointed Things Part 2 :(

Kenapa nyaliku jadi ciut tiba tiba ya ?
bener bener ngerasa dan mikir "ya memang mereka yang pantas" Dan aku hanya seorang pecundang yang akhirnya tertindas dan melihat mereka tertawa menghina ku.
mereka punya teori, tapi mereka tak menguasai praktek. Kami disini mampu dalam praktek hanya kami belum menemukan teori yang pas.

Seharusnya kalian bisa bersaing sehat dengan kami. Saling menutupi kekurangan, karena kami dan kalian dari ranting yang sama --"
tapi kalian seakan mementingkan diri sendiri . Seakan kalian berdiri , tertawa keras dan berkata "Ini bagian kami, segampang mematikan semut kecil."
Seolah kalian melihat kami dengan sebelah mata :(

Kami memang tidak sehebat kalian, Tapi bukan berarti kalian menganggap kami tidak membutuhkan hal itu kan ?
Hal itu adalah apa yang kami idamkan dan dambakan setelah sebulan menunggu. Tetapi ternyata kalian merampas apa yang kami idamkan secara paksa.
Itu sama-sama hak kita, berarti aku juga berhak atas hal itu !

Minggu depan aku bakal buktiin kalau kami bisa. Dan kami semua akan berteriak pada kalian "Kami tidak perlu menjadi orang yang licik untuk membuktikkan kehebatan kami !"

Story of Dissapointed Things :(

sebenernya kecewa banget. Kalo emang mau bersaing, gak gini caranya --"
gak usah nyembunyiin sesuatu yang sifatnya universal.
kita sama kalian juga berhak atas itu, jadi gak usah ditutupin
kalian juga gak usah maruk gitu.

Bukan kita iri, kita sih fine aja.
tp coba liat, uda berapa orang yang kamu rugiin ? banyak ee , mereka semua kecewa dengan cara kalian.
kita pikir, kita bisa bareng2 bersaing sehat. Ternyata kalian kayak gini sama kita :(
apa salah kita e ?

Kalian lupa tentang karma ?
apa yang kalian lakuin ke kita, kita lihat aja hasilnya seminggu lagi.
kita lihat, apa orang orang selicik kalian bisa menjadi yang terbaik. Atau justru orang licik kayak kalian yang akan tertindas .
Tuhan itu Adil !

Sekarang terserah kalian kayak apa.
sepandai pandainya tupai melompat pasti jatuh juga kok :)
itu yang bakal kalian alami nantinya , kalo kalian terus gitu sama orang.

Karena kalian yang mulai, kita ikutin aja permainan kalian.
semakin sering kalian kayak gini sama orang, semakin banyak orang yang gak suka sama kalian.
untung kita baik gak nyebar-nyebarin hal ini. Karena kita masih ngehormatin kalian , ngerti gimana kalian.

kita ngalah bukan berarti kalah, orang-orang licik !